Rabu, 09 Oktober 2013

DAMPAK EKONOMI DI SELENGGARAKANNYA MISS WORLD

Kontes Miss World yang digelar di Indonesia tahun ini benar-benar menyedot perhatian publik. Hampir seluruh elemen umat Islam termasuk MUI (Majelis Ulama Indonesia) menolak tegas diselenggarakannya kontes ratu sejagat ini. Komnas Perlindungan Anak pun juga menyayangkan dihelatnya kontes kemunkaran ini.
Setelah melalui pertimbangan, akhirnya pemerintah memutuskan Miss World hanya digelar di Bali, 8-28 September 2013. Adapun keputusan ini sejatinya tidak menyentuh substansi persoalan. Sebab masyarakat menginginkan supaya ajang adu cantik ini dibatalkan. Apalagi kontes inipun rencananya bakal ditayangkan di stasiun televisi sehingga mudah diakses oleh seluruh masyarakat yang mayoritas muslim di negeri ini.
Jangankan di Bali yang notabene masih wilayah Indonesia. Bahkan di luar negeri sekalipun apabila menengok sejarah negri ini, kontes jual aurat selalu mendapat counter sosial yang begitu besar dari masyarakat. Sehingga berujung pada munculnya beberapa peraturan negara. Seperti keputusan Gubernur DKI Jakarta, No. 3554/VIII/1980) yang berisi larangan penyelenggaraan putri Indonesia dan pengiriman ke ajang pemilihan putri Internasional. Atau seperti peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.0237/U/1984 yang berisi larangan kegiatan ratu atau sejenisnya yang memiliki dampak negatif.
Penjajahan Budaya
Menurut laman Wikipedia, Kontes Amerika modern pertama dipentaskan oleh P.T. Barnum pada 1854, namun kontes kecantikan itu ditutup karena adanya protes publik. Ia sebelumnya memegang kontes kecantikan anjing, bayi, dan burung. Dia digantikan Daguerreotype untuk menilai, praktik ini cepat diadopsi oleh koran-koran. Koran mengadakan kontes kecantikan foto selama beberapa dekade: Pada tahun 1880, ” Kontes Kecantikan Mandi” pertama berlangsung sebagai bagian dari festival musim panas untuk mempromosikan bisnis di Rehoboth Beach, Delaware.
Di Indonesia, kemunculan kontes serupa sudah dimulai sejak massa kolonial Belanda. Tahun 1938 Ibu Sejati di gelar Semarang guna menjaring siapa wanita idaman. Intensitas kontes adu cantik semakin meluas disekitar tahun 1950-an yang digelar di hampir seluruh kota besar di Indonesia.
Pada massa Orde baru, pemilihan Miss Indonesia kemudian dilanjutkan dengan pengiriman ke kontes multinasional seperti pada ajang Miss Universe, Miss International, Queen of the pacific, miss Asia Quest. Meski pada massa ini muncul larangan dari pemerintah, namun tidak maksimal. Indonesia berkali-kali berhasil meloloskan kontestannya untuk mengirimkan jagoannya ke ajang international. Hal ini dipicu oleh adanya latar belakang politik dan ekonomi dari kontestan, panitia, sponsor, maupun berbagai stackholder lain. Pada tahun 1998 Indonesia tidak mengirimkan kontestan dikarenakan negri ini sedang diguncang krisis moneter.
Tak perlu diragukan lagi bahwa ajang MissWorld ini adalah salah satu bentuk budaya barat yang dijajahkan ke Indonesia. Meski juga tak sedikit kritikus barat yang tidak setuju dengan ajang seperti ini. Sebagai contoh adalah Sherry Argov, penulis beberapa buku-buku Best Seller, mengatakan“Ajang adu kecantikan itu mirip sekali dengan pertunjukan hewan ternak. Para peternak tersebut memamerkan sapi-sapi mereka dengan cara yang sama dengan para kontestan kecantikan. Mereka menggiring sapia juaranya ke tengah panggung di depan penonton dan juri, dan mungkin bahkan memerintahkan sapi mereka beraksi sedikit di tengah panggung menunjukkan kebolehannya” (Sherry Argov, Why Men Marry Bitches).
Miss World sudah seharusnya ditolak karena jelas ia bertentangan dengan ajaran Islam. Mengajarkan gaya hidup hedonistik, pamer aurat, bertabarruj, dst. Namun tidak berhenti disitu, kenapa gaung penolakannya sebegitu besar disebabkan ia akan menjadi inspirator kemunkaran bagi khalayak umum. Aquarini Prabasmoro; Simbol-simbol kecantikan dalam kontes kecantikan)yang diciptakan pun seakan menjadi simbol-simbol ideal dan diinginkan oleh para perempuan. (A. Priyatna Prabasmoro, Representasi ras, kelas, feminitas, dan globalitas). Disamping itu ajang ini juga nihil manfaat. Terbukti misalnya negara pemenang maupun penyelenggara tidak memiliki korelasi terhadap peningkatan sektor pariwisata. Fakta empiris menunjukan hal itu.
Nilai (value) Miss World
Pertama; Eksploitasi wanita. Tak ada yang salah jika Allah anugerahkan seseorang dengan wajah nan cantik. Namun akan lain ketika kecantikan itu kemudian dijadikan sebuah komoditi yang diperdagangkan. Baik itu terkait bisnis kosmetika, rumah mode, salon kecantikan, dsb.
Kedua; Kampanye kesetaraan gender. Miss World juga bernilai kampanye kesetaraan gender, Mereka mencoba menampilkan image ideal wanita sedemikian rupa di ranah publik. Sinyalemen ini misalkan dapat tercermin dari perkataan Julia Morley seperti dikutip situs okezone.com, Chairwoman of Miss World Organization ini berujar; penyandang gelar Miss World itu tidak hanya wanita yang cantik tapi juga memiliki hati yang baik dan bisa bekerja keras dengan baik selama satu tahun ke depan semasa gelarnya. Selain itu kita bisa lihat seperti apakah wanita ideal yang diinginkan Miss World dan bagaimana kiprahnya setelah terpilih menjadi pemenang.
Ketiga: Benturan ideologi. Tak luput ketika Samuel Huntington memprediksikan terjadinya benturan peradaban. Keberadaan Miss World ini sebagai perwujudan benturan budaya barat vs Islam. Budaya bukan dari Islam yang coba disajikan negri mayoritas penduduk muslim ini. Padahal simbol-simbol seperti apa wanita ideal yang digambarkan niscaya berimplikasi pada rusaknya generasi umat Islam untuk menjauhi ideologinya.
NAMA            :  MITA KURNIASIH
KELAS           : 3EB10
NPM   : 24211511

Tidak ada komentar:

Posting Komentar