Kontes Miss
World yang digelar di Indonesia tahun ini benar-benar menyedot perhatian
publik. Hampir seluruh elemen umat Islam termasuk MUI (Majelis Ulama Indonesia)
menolak tegas diselenggarakannya kontes ratu sejagat ini. Komnas Perlindungan
Anak pun juga menyayangkan dihelatnya kontes kemunkaran ini.
Setelah
melalui pertimbangan, akhirnya pemerintah memutuskan Miss World hanya digelar
di Bali, 8-28 September 2013. Adapun keputusan ini sejatinya tidak menyentuh
substansi persoalan. Sebab masyarakat menginginkan supaya ajang adu cantik ini
dibatalkan. Apalagi kontes inipun rencananya bakal ditayangkan di stasiun
televisi sehingga mudah diakses oleh seluruh masyarakat yang mayoritas muslim
di negeri ini.
Jangankan di
Bali yang notabene masih wilayah Indonesia. Bahkan di luar negeri sekalipun
apabila menengok sejarah negri ini, kontes jual aurat selalu mendapat counter
sosial yang begitu besar dari masyarakat. Sehingga berujung pada munculnya
beberapa peraturan negara. Seperti keputusan Gubernur DKI Jakarta, No.
3554/VIII/1980) yang berisi larangan penyelenggaraan putri Indonesia dan
pengiriman ke ajang pemilihan putri Internasional. Atau seperti peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.0237/U/1984 yang berisi larangan kegiatan
ratu atau sejenisnya yang memiliki dampak negatif.
Penjajahan
Budaya
Menurut
laman Wikipedia, Kontes Amerika modern pertama dipentaskan oleh P.T. Barnum
pada 1854, namun kontes kecantikan itu ditutup karena adanya protes publik. Ia
sebelumnya memegang kontes kecantikan anjing, bayi, dan burung. Dia digantikan
Daguerreotype untuk menilai, praktik ini cepat diadopsi oleh koran-koran. Koran
mengadakan kontes kecantikan foto selama beberapa dekade: Pada tahun 1880, ”
Kontes Kecantikan Mandi” pertama berlangsung sebagai bagian dari festival musim
panas untuk mempromosikan bisnis di Rehoboth Beach, Delaware.
Di
Indonesia, kemunculan kontes serupa sudah dimulai sejak massa kolonial Belanda.
Tahun 1938 Ibu Sejati di gelar Semarang guna menjaring siapa wanita idaman.
Intensitas kontes adu cantik semakin meluas disekitar tahun 1950-an yang
digelar di hampir seluruh kota besar di Indonesia.
Pada massa
Orde baru, pemilihan Miss Indonesia kemudian dilanjutkan dengan pengiriman ke
kontes multinasional seperti pada ajang Miss Universe, Miss International,
Queen of the pacific, miss Asia Quest. Meski pada massa ini muncul larangan
dari pemerintah, namun tidak maksimal. Indonesia berkali-kali berhasil
meloloskan kontestannya untuk mengirimkan jagoannya ke ajang international. Hal
ini dipicu oleh adanya latar belakang politik dan ekonomi dari kontestan,
panitia, sponsor, maupun berbagai stackholder lain. Pada tahun 1998 Indonesia
tidak mengirimkan kontestan dikarenakan negri ini sedang diguncang krisis moneter.
Tak perlu
diragukan lagi bahwa ajang MissWorld ini adalah salah satu bentuk budaya barat
yang dijajahkan ke Indonesia. Meski juga tak sedikit kritikus barat yang tidak
setuju dengan ajang seperti ini. Sebagai contoh adalah Sherry Argov, penulis
beberapa buku-buku Best Seller, mengatakan“Ajang adu kecantikan itu mirip
sekali dengan pertunjukan hewan ternak. Para peternak tersebut memamerkan
sapi-sapi mereka dengan cara yang sama dengan para kontestan kecantikan. Mereka
menggiring sapia juaranya ke tengah panggung di depan penonton dan juri, dan
mungkin bahkan memerintahkan sapi mereka beraksi sedikit di tengah panggung
menunjukkan kebolehannya” (Sherry Argov, Why Men Marry Bitches).
Miss World
sudah seharusnya ditolak karena jelas ia bertentangan dengan ajaran Islam.
Mengajarkan gaya hidup hedonistik, pamer aurat, bertabarruj, dst. Namun tidak
berhenti disitu, kenapa gaung penolakannya sebegitu besar disebabkan ia akan
menjadi inspirator kemunkaran bagi khalayak umum. Aquarini Prabasmoro;
Simbol-simbol kecantikan dalam kontes kecantikan)yang diciptakan pun seakan
menjadi simbol-simbol ideal dan diinginkan oleh para perempuan. (A. Priyatna
Prabasmoro, Representasi ras, kelas, feminitas, dan globalitas).
Disamping itu ajang ini juga nihil manfaat. Terbukti misalnya negara pemenang
maupun penyelenggara tidak memiliki korelasi terhadap peningkatan sektor
pariwisata. Fakta empiris menunjukan hal itu.
Nilai
(value) Miss World
Pertama;
Eksploitasi wanita. Tak ada yang salah jika Allah anugerahkan seseorang dengan wajah
nan cantik. Namun akan lain ketika kecantikan itu kemudian dijadikan sebuah
komoditi yang diperdagangkan. Baik itu terkait bisnis kosmetika, rumah mode,
salon kecantikan, dsb.
Kedua;
Kampanye kesetaraan gender. Miss World juga bernilai kampanye kesetaraan
gender, Mereka mencoba menampilkan image
ideal wanita sedemikian rupa di ranah publik. Sinyalemen ini
misalkan dapat tercermin dari perkataan Julia Morley seperti dikutip situs okezone.com, Chairwoman of Miss World Organization ini berujar;
penyandang gelar Miss World itu tidak hanya wanita yang cantik tapi juga
memiliki hati yang baik dan bisa bekerja keras dengan baik selama satu tahun ke
depan semasa gelarnya. Selain itu kita bisa lihat seperti apakah wanita ideal
yang diinginkan Miss World dan bagaimana kiprahnya setelah terpilih menjadi
pemenang.
Ketiga:
Benturan ideologi. Tak luput ketika Samuel Huntington memprediksikan terjadinya
benturan peradaban. Keberadaan Miss World ini sebagai perwujudan benturan
budaya barat vs Islam. Budaya bukan dari Islam yang coba disajikan negri
mayoritas penduduk muslim ini. Padahal simbol-simbol seperti apa wanita ideal
yang digambarkan niscaya berimplikasi pada rusaknya generasi umat Islam untuk
menjauhi ideologinya.
NAMA : MITA KURNIASIH
KELAS : 3EB10
NPM :
24211511
Tidak ada komentar:
Posting Komentar