HUKUM PERIKATAN
(ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI)
NAMA : Mita Kurniasih
KELAS : 2EB10
NPM : 24211511
Dalam tulisan ini saya akan membahas
Aspek Hukum Dalam Ekonomi dengan materi tentang Hukum Perikatan yang terdiri
dari sub bab :
1.
Pengertian
2.
Dasar
Hukum Perikatan
3.
Azas-azas
dalam Hukum Perikatan
4.
Wanprestasi
dan akibat-akibatnya
5.
Hapusnya
Perikatan
1.
Pengertian Hukum Perikatan
“Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, Perikatan
adalah hubungan hukum yang terjadi di antara 2 (dua) orang atau lebih, yang
terletak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana para pihak yang satu berhak
atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi
Perikatan
dalam bahasa Belanda disebut“ver bintenis ”. Istilah perikatan ini lebih umum
dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti;
hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat
itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang.
Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang.
Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah
yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang
mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang
atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian,
perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut
hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu
hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di
mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum,
akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum
keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam
bidang hukum pribadi(pers onal law).
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang
terbuka, dan yang dimaksud dengan sistem terbuka adalah setiap orang dapat
mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan
bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang
disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus
halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu
dan untuk tidak berbuat sesuatu.Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat
sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak
melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk
tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah
disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan
bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah
perjanjian agar memotong rambut tidak sampai botak.
Dan syarat
sahnya perikatan yaitu;
1. Obyeknya
harus tertentu.
Syarat ini
diperlukan hanya terhap perikatan yang timbul dari perjanjian.
2. Obyeknya
harus diperbolehkan.
Artinya
tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum.
3. Obyeknya
dapat dinilai dengan uang.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam pengertian perikatan
4. Obyeknya
harus mungkin.
Yaitu yang
mungkin sanggup dilaksanakan dan bukan sesuatu yang mustahil.
Sumber Hukum Perikatan Pada dasarnya, ada sedikit kemiripan
antara hukum perdata di Indonesia dengan di Mesir,dikarenakan negara Mesir
sendiri mengadopsi hukum dari Perancis, sedangkan Indonesia mengadopsi hukum
dari Belanda, dan Hukum Perdata Negara Belanda berasal dari Hukum Perdata
Perancis (yang terkenal dengan nama Code Napoleon). Jadi, hukum perdata yang di
Indonesia dengan di Mesir pada hakikatnya sama. Akan tetapi hanya bab dan
pembagiannya saja yang membedekannya dikarenakan berasal dari satu nenek moyang
yang sama.
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia
adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi
lagi menjadi undang-undang melulu dan undang- undang dan perbuatan manusia.
Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut
hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Contoh dalam
perikatan yang timbul karena perbuatan menurut hukum
contohnya;
mengurus kepentingan orang lain secara sukarela sebagaimana tertera dalam pasal
1354, dan pembayaran yang tak terutang tertera dalam pasal 1359. Contoh dari
perikatan yang timbul dari undang- undang melulu telah tertera dalam pasal 104
mengenai kewajiban alimentasi antara kedua orang tua, misalnya; Ahmad menikah
dengan Fatimah, pada dasarnya Ahmad dan Fatimah hanya melakukan akad nikah,
dengan adanya akad nikah maka timbulah suatu keterikatan yang lainnya yaitu
saling menjaga, menafkahi dan memelihara anak mereka bila lahir nantinya.
Contoh lain dari undang-undang melulu telah tertera dalam pasal 625 mengenai
hukum tetangga; yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang
berdampingan. Selain itu, juga terdapat pula perikatan yang timbul karena
melawan hukum. Contohnya; mengganti kerugian terhadap orang yang dirugikan,
sebagaimana tertera dalam pasal 1365 KUH Perdata.
Adapun, sumber-sumber pokok perikatan yang ada di
Mesir adalah adanya perjanjian (keinginan kedua belah pihak) dan tidak adanya
perjanjian (muncul karena ketidaksengajaan atau muncul tanpa keinginan kedua
belah pihak). Dan syarat syahnya perjanjian harus adanya keridhoan/kesepakatan
antara kedua belah pihak, jadi di dalam isi perjanjian, kedua belah pihak harus
saling mengetahui maksud dari perjanjian tersebut, dan tidak boleh hanya
menguntungkan satu pihak saja. Dan syarat yang lainnya, adanya obyek yang
halal, yang tidak melanggar undang-undang dan norma-norma kehidupan di masyarakat.
Dan sumber tidak adanya perjanjian dapat dibagi menjadi; pertanggung jawaban
yang timbul karena kelalaian, memperkaya diri tanpa alasan, dan undang-undang.
2. Dasar
Hukum Perikatan
Dasar Hukum
Perikatan
Dasar hukum
perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan
yang timbul undang-undang.
3. Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi
menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini
tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari
undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen
toedoen)
2.1.
Perikatan terjadi karena undang-undang semata
2.2.
Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. ASAS-ASAS
HUKUM PERIKATAN
3.1 ASAS KONSENSUALISME
Asas konsnsualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320
ayat 1 KUHPdt Pasal 1320 KUHPdt : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat sarat :
(1) Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya
(2)
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
(3) suatu
hal tertentu
(4) suatu
sebab yang halal.
Pengertian
kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang disetujui
antara pihak-pihak
3.2 ASAS PACTA SUNT SERVANDA
Asas pacta
sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian. Pasal 1338 ayat (1)
KUHPdt : Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang….”
Para pihak
harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu
merupakan kehendak bebas para pihak
3.3 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
Pasal 1338
KUHPdt : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”
Ketentuan
tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk :
1. Membuat
atau tidak membuat perjanjian;
2.Mengadakan
perjanjian dengan siapapun;
3.Menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4.Menentukan
bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Di samping
ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa
asas hukum
perikatan nasional, yaitu :
1.Asas
kepercayaan;
2.Asas
persamaan hukum;
3.Asas
keseimbangan;
4.Asas
kepastian hukum;
5.Asas
moral;
6.Asas
kepatutan;
7.Asas
kebiasaan;
8.Asas
perlindungan;
4. Wanprestasi
dan Akibat-Akibatnya
4.1 Gugatan
PMH atau wanprestasi
Suatu perjanjian dapat terlaksana
dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti
yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya
perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang
dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Perkataan wanprestasi berasal dari
bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi
adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur
tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Gugatan wanprestasi
bertujuan untuk menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian
terlaksana, ganti rugi yang diberikan adalah kehilangan keuntungan yang
diharapkan atau expectation loss. Gugatan atas dasar PMH bertujuan menempatkan
penggugat pada posisi sebelum terjadi PMH, sehingga ganti rugi yang diberikan
adalah kerugian yang nyata. Saat ini terjadi pergeseran dari teori klasik yang
membedakan secara tajam antara gugatan wanprestasi dan gugatan PMH kearah teori
modern yang tidak lagi membedakan secara tajam gugatan wanprestasi dan gugatan
PMH.
Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan.
Adapun
bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan
apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
4.2
Akibat-Akibat Wansprestasi
Akibat-akibat
wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan
wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar
Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi
sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya
adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan
oleh salah satu pihak;
b. Rugi
adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat
oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga
adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau
dihitung oleh kreditor.
2.
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam
pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH
Perdata.
Pembatalan
perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak
kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadak
3. Peralihan
Risiko
Peralihan
risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di
luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek
perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
5. Hapusnya
Perikatan
Bab IV Buku
III KUH Perdata mengatur tentang hapusnya perikatan baik yang timbul dari
persetujuan maupun dari undang-undang yaitu dalam pasal 1381 KUH Perdata. Dalam
pasal tersebut menyebutkan bahwa ada delapan cara hapusnya perikatan yaitu :
1.
Pembayaran
2. Penawaran
pembayaran diikuti dengan penitipan.
3.
Pembaharuan utang (inovatie)
4.
Perjumpaan utang (kompensasi)
5. Percampuran
utang.
6.
Pembebasan utang.
7. Musnahnya
barang yang terutang
8. Kebatalan
dan pembatalan perikatan-perikatan.
Adapun dua cara lainnya yang tidak diatur dalam Bab IV
Buku III KUH Perdata adalah : Syarat yang membatalkan (diatur dalam Bab I).
Kedaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).
Jadi dalam
KUH Perdata ada sepuluh cara yang mengatur tentang hapusnya perikatan.
1.
Pembayaran
Yang dimaksud oleh undang-undang dengan perkataan
”pembayaran” ialah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara sukarela,
artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi. Jadi perkataan pembayaran itu oleh
undang-undang tidak melulu ditujukan pada penyerahan uang saja tetapi
penyerahan tiap barang menurut perjanjian, dinamakan pembayaran. Bahkan si
pekerja yang melakukan pekerjaannya untuk majikannya dikatakan ”membayar”.
2. Penawaran
pembayaran diikuti dengan penitipan.
a. Penawaran
pembayaran.
Undang-undang
memberikan kemungkinan kepada debitur yang tidak dapat melunasi utangnya karena
tidak mendapatkan bantuan dari kreditur, untuk membayar utangnya dengan jalan
penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan.
Sebagai
contoh : A harus menyerahkan sejumlah barang yang dibeli oleh B, akan tetapi
karena harga barang tersebut turun, B tidak mau menerimanya dengan alasan
gudangnya penuh. Untuk membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut A dapat
menawarkan pembayaran diikuti dengan penitipan. Ketentuan Pasal 1404 s/d 1412
KUH Perdata hanya mengatur mengenai pemberian barang-barang bergerak dan tidak
berlaku bagi perikatan-perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk memberikan
barang-barang tetap. Perkataan tersebut dalam Pasal 1404 KUH Perdata yang
berbunyi ”Jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan
penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan” menimbulkan kesan seolah-olah
penawaran pembayaran hanya dapat dilakukan setelah adanya penolakan dari
kreditur.
Pasal 1405
menentukan syarat-syarat untuk sahnya penawaran, yaitu :
1) Penawaran
harus dilakukan kepada kreditur atau kuasanya,
2) Dilakukan
oleh orang yang berwenang untuk membayar,
3) Penawaran
harus meliputi :
- seluruh
uang pokok
- bunga
- biaya yang
telah ditetapkan
- uang untuk
biaya yang belum ditetapkan ketentuan ini khusus untuk utang uang, sedangkan
jika utang barang yang tak tergolong dalam Pasal 1412, maka point 3 ini dapat
diterapkan secara analogis.
4) Ketetapan
waktunya telah tiba, jika dibuat untuk kepentingan kreditur,
5) Syarat
dengan mana utang telah dibuat, telah dipenuhi. Yang dimaksud disini adalah
perikatan dengan syarat yang menunda,
6) Penawaran
harus dilakukan ditempat, di mana menurut persetujuan pembayaran harus
dilakukan, jika tidak ada persetujuan khusus maka penawaran harus ditujukan
kepada kreditur pribadi atau tempat tinggal sesungguhnya atau tempat tinggal
yang telah dipilih kreditur,
7) Penawaran
itu dilakukan oleh seorang notaris atau juru sita, kedua- duanya disertai dua
orang saksi. Dengan diterimanya penawaran pembayaran maka telah terjadi
pembayaran..
Untuk sahnya
penitipan, Pasal 1406 KUH Perdata menentukan beberapa syarat, yaitu :
1) sebelum
penitipan kreditur harus diberitahukan tentang hari, jam
dan tempat
di mana barang yang ditawarkan akan disimpan.
2) debitur
telah melepaskan barang yang ditawarkan, dengan menitipkannya kepada kas penyimpanan
atau penitipan di kepaniteraan Pengadilan, yang akan mengadilinya jika terjadi
perselisihan disertai bunga sampai pada hari penitipan.
3) oleh
notaris atau juru sita, kedua-duanya disertai dua orang saksi dibuat sepucuk
surat pemberitaan yang menerangkan wujudnya mata uang yang ditawarkan,
penolakan kreditur atau bahwa ia tidak datang untuk menerimanya dan akhirnya
tentang penyimpanannya itu sendiri.
c.Akibat
dari penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan.
Penawaran
pembayaran yang diikuti dengan penitipan membebaskan debitur dan berlaku
sebagai pembayaran. Pembebasan tersebut mengakibatkan :
- Debitur
dapat menolak tuntutan pemenuhan prestasi, ganti rugi, atau pembatalan
persetujuan timbal balik dari kreditur dengan mengemukakan adanya penawaran dan
penitipan.
- Debitur
tidak lagi berutang bunga sejak hari penitipan.
- Sejak
penitipan kreditur menanggung resiko atas barangnya.
- Pada
persetujuan timbal balik, debitur dapat menuntut prestasi
kepada
kreditur.
3.
Pembaharuan utang (inovatie)
a.
Pengertian novasi.
Novasi
adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada
saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti
perikatan semula.
4.
Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi
terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana
utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang
ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan
menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata).
5.
Percampuran utang.
Yang
dimaksud percampuran utang adalah percampuran kedudukan (kualitas) dari
partai-partai yang mengadakan perjanjian, sehingga kualitas sebagai kreditur
menjadi satu dengan kualitas dari debitur
6.
Pembebasan utang.
.Secara
sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur
melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak
mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya
pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan
tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan hutang dapat terjadi dengan
persetujuan atau Cuma- Cuma.
7. Musnahnya
barang yang terutang
Apabila
benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi
diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan
memaksa”atau force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan
tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut.
8. Kebatalan
dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang
kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan
dapat dibatalkan.
Disebut
batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang.
9.Syarat
yang membatalkan (diatur dalam Bab I).
Yang
dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui
oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu
batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”.
Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu
dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah
tidak pernah terjadi perikatan.
10.
Kedaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).
Menurut
ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk
memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang
ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
Daftar Pustaka :
Prinsip+Hukum+Perikatan+dan+Perjanjian.pdf